Opini
Penulis : Moh. Adiwarman Cahyana
Di pagi hari yang masih basah oleh embun, Pak Rahman berdiri di pematang sawahnya di sebuah desa kecil yang damai. Tangannya kasar, matanya letih, namun ada sisa cahaya yang tak pernah padam. Baru saja ia selesai panen. Tiga bulan ia habiskan untuk menebar benih, melawan tikus yang menyerang padi, membeli pupuk dengan harga yang terus melonjak. Saat panen tiba, gabah yang ia jual hanya dihargai Rp5.000 per kilo, harga yang bahkan tidak cukup untuk melunasi utangnya pada kios pupuk. Ia tertawa getir ketika ditanya apa arti Hari Tani baginya. “Hari Tani? Hari untuk siapa? Kami tetap begini-begini saja,” katanya lirih.
Kisah Pak Rahman bukanlah pengecualian, melainkan cermin dari wajah pertanian kita. Indonesia menyebut dirinya negeri agraris, dengan lebih dari 29% penduduk menggantungkan hidup di sektor pertanian menurut Badan Pusat Statistik. Namun, kehidupan petani sering kali identik dengan kemiskinan. Data terbaru bahkan memperlihatkan ironi: Nilai Tukar Petani pada Juli 2025 memang tercatat 122,64, naik 0,76 persen dibanding bulan sebelumnya. Angka ini, dalam definisi resmi, menunjukkan bahwa pendapatan petani rata-rata lebih tinggi dari biaya produksinya. Namun apa arti kenaikan indeks di atas kertas jika di lapangan harga pupuk dua kali lipat dari tahun lalu, biaya sewa lahan menekan, dan keuntungan justru lebih banyak dinikmati oleh pedagang besar?

Bila dilihat lebih rinci, NTP subsektor tanaman pangan hanya mencapai 106,20 pada Juni 2024. Itu berarti setiap seratus rupiah biaya produksi yang dikeluarkan petani hanya kembali dengan nilai seratus enam rupiah. Selisih tipis yang bisa lenyap begitu saja ketika banjir melanda atau ketika harga gabah jatuh di pasar. Pada periode yang sama, petani perikanan justru mengalami penurunan NTP, tanda bahwa daya beli mereka semakin tergerus. Statistik yang seharusnya menjadi kabar baik justru memperlihatkan ketimpangan: ada subsektor yang sedikit membaik, tetapi ada pula yang semakin terhimpit.
Lebih menyedihkan lagi, kebijakan negara kadang justru menambah beban. Ketika harga beras naik, pemerintah sering membuka keran impor. Tahun 2023, Indonesia mencatat impor beras tertinggi dalam lima tahun terakhir, lebih dari 3,5 juta ton. Akibatnya, harga gabah di tingkat petani langsung tertekan. Petani yang seharusnya menikmati keuntungan saat panen raya justru menunduk karena hasil jerih payahnya tak bernilai. Subsidi pupuk yang diharapkan menjadi penolong pun sering bocor ke tangan yang salah. Ombudsman pada 2024 mencatat banyak petani kecil tidak mendapat pupuk bersubsidi, sementara harga pupuk nonsubsidi melambung tak terkendali. Di sisi lain, setiap tahun lebih dari seratus ribu hektare sawah berubah menjadi kawasan industri atau perumahan, menghapus ruang hidup para petani. Alih fungsi lahan itu adalah kehilangan yang tak bisa tergantikan, karena tanah bukan sekadar tempat menanam, melainkan akar kehidupan.
Hari Tani mestinya menjadi momentum untuk bertanya dengan jujur: bagaimana mungkin bangsa yang menyebut dirinya agraris justru membiarkan petaninya terpuruk? Bagaimana mungkin mereka yang memberi makan bangsa ini justru kerap tak mampu memberi makan keluarga mereka sendiri?
Kondisi ke depan pun tidak memberi banyak kelonggaran. Perubahan iklim, kata laporan FAO, berpotensi menurunkan produktivitas beras hingga 7–14 persen pada 2050. Urbanisasi yang kian masif mempersempit lahan pertanian. Regenerasi pun terancam, sebab data BPS menunjukkan rata-rata umur petani sudah di atas 45 tahun. Anak-anak muda enggan melanjutkan karena melihat orang tuanya lelah tanpa jaminan sejahtera. Jika tren ini berlanjut, pertanian di negeri yang konon subur ini bisa kehilangan daya hidupnya bukan karena tanahnya tandus, melainkan karena petaninya sudah kehilangan harapan.
Namun, di tengah semua kabut suram itu, selalu ada cahaya kecil yang menyelinap. Di beberapa desa, komunitas petani organik mulai menjual produknya langsung ke konsumen melalui pasar daring. Ada gerakan anak muda yang kembali ke desa, membawa teknologi digital untuk menghubungkan petani dengan pasar. Ada koperasi yang berhasil memotong rantai tengkulak sehingga pendapatan petani naik hingga 30 persen. Semua ini membuktikan bahwa jalan menuju kesejahteraan masih mungkin, asalkan ada keberanian politik untuk mendukung, ada solidaritas sosial untuk menopang, dan ada pengakuan bahwa petani bukan sekadar pekerja kasar di ladang, melainkan penopang keberlangsungan bangsa.
Hari Tani seharusnya tidak berhenti menjadi seremoni tahunan, tidak berhenti pada pidato yang penuh jargon. Ia harus menjadi kompas moral untuk menagih janji keadilan agraria yang sejak lama tertunda. Karena setiap butir nasi di piring kita adalah jejak keringat seorang petani. Dan setiap kali seorang petani hidup dalam kesengsaraan, sesungguhnya bangsa ini tengah mengkhianati sumber kehidupannya sendiri.
Maka mari kita jujur bertanya: jika negeri ini berutang kehidupan pada petani, kapan mereka bisa benar-benar merdeka di sawah dan sejahtera di rumah?
Referensi
- Badan Pusat Statistik (2023). Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Indonesia.
- Badan Pusat Statistik (2025). Nilai Tukar Petani Juli 2025 sebesar 122,64 atau naik 0,76 persen.
- GoodStats (2024). Analisis Perubahan Nilai Tukar Petani (NTP) Sub-sektor Terbaru.
- Badan Pangan Nasional (2024). Pemerintah Lanjutkan Langkah Progresif dalam Menjaga NTP.
- FAO (2022). The State of Food and Agriculture: Climate Change and Food Security.

















